Apakah Vaksin tak Berlabel Halal Sama dengan Haram?
(tulisan ini pernah dimuat di Republika Online 30 Juli 2018)
“Saya dan istri sudah sepakat sejak awal untuk tidak melakukan imunisasi kepada tujuh anak kami sejak lahir.
Ya, ini merupakan pelajaran untuk kita semua, khususnya para orangtua.”
Seorang bapak beranak tujuh memaparkan kisahnya. Anak keempatnya yang berusia 12 tahun baru saja meninggal dunia karena penyakit difteri, seperti dilansir media Tribunjateng pada tanggal 24 Juli 2018. Difteri diketahui sedang mewabah di beberapa kelurahan di Kota Semarang, dan upaya imunisasi outbreak response immunization (ORI) sudah dilakukan Dinas Kesehatan setempat pada pertengahan bulan Juli lalu. Difteri adalah salah satu penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi, yaitu dengan vaksin kombinasi DPT (difteri, pertussis, dan tetanus).
Rendahnya cakupan imunisasi di suatu wilayah, atau adanya anak-anak dengan status imunisasi tidak lengkap, bahkan tidak diimunisasi sama sekali, menjadi penyebab wabah penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi ini. Penolakan sebagian masyarakat terhadap imunisasi, alasannya antara lain karena vaksin diragukan kehalalannya, sudah menjadi perhatian Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan menjadi salah satu faktor pertimbangan Komisi Fatwa MUI mengeluarkan Fatwa MUI nomor 4 tahun 2016 tentang imunisasi. Meskipun sudah dua tahun berselang sejak fatwa ini dikeluarkan dan disosialisasikan ke masyarakat, keraguan mereka terhadap imunisasi sepertinya masih ada.
Pada bulan Agustus mendatang, vaksin MR akan diperkenalkan masuk ke dalam program imunisasi rutin balita dan anak sekolah di berbagai pulau di luar Pulau Jawa. Ketika kampanye imunisasi MR putaran pertama berlangsung di seantero Pulau Jawa tahun lalu, banyak reaksi masyarakat yang muncul, baik yang mendukungnya maupun yang menolaknya, lagi-lagi alasannya karena status kehalalan vaksin yang masih dipertanyakan. Maka menjelang kampanye imunisasi MR putaran kedua tahun ini, saya mencoba menjawab pertanyaan: “apakah vaksin yang tidak berlabel halal, artinya vaksin tersebut haram?”
“Kategori” vaksin di Indonesia berdasarkan adanya sertifikat halal
Dalam hal ini, saya membagi vaksin yang beredar di Indonesia ke dalam empat kategori:
Vaksin tak berlabel halal, dan tidak ada keterangan tambahan apapun. Yaitu pada sebagian besar vaksin, antara lain semua produk vaksin Bio Farma, dan vaksin-vaksin impor seperti vaksin pneumokokus, vaksin hepatitis A, vaksin tifoid, dan vaksin MR yang sudah digunakan sejak tahun lalu, dan akan dimulai kampanye (masuk ke dalam program imunisasi nasional) di luar Pulau Jawa. Vaksin MR yang menjadi fokus pembahasan kali ini, mengingat jutaan anak berusia 6 bulan sampai kurang dari 15 tahun masuk dalam sasaran program dalam waktu dekat.
Vaksin tak berlabel halal, dan ada keterangan tambahan pada kemasannya: “pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi”. Yaitu pada vaksin-vaksin impor seperti vaksin kombinasi (kombo) yang mengandung vaksin polio suntik (IPV), vaksin rotavirus, dan vaksin cacar air (varisela) yang menggunakan stabilizer sukrosa (bukan gelatin babi).
Vaksin tak berlabel halal, dan ada keterangan tambahan pada kemasannya: “mengandung babi”. Yaitu pada vaksin impor varisela yang menggunakan stabilizer gelatin babi.
Vaksin yang sudah memperoleh sertifikasi halal MUI, yaitu vaksin meningokokus produk Novartis (Menveo).
Saya akan memberikan penjelasan dengan penekanan di poin pertama, dan berlanjut ke poin kedua dan ketiga. Tulisan ini harus dibaca utuh sampai akhir, karena pembaca akan mendapatkan kejelasan bahwa vaksin-vaksin di poin kedua dan ketiga ternyata tidak haram, dijabarkan dari sisi fikih (hukum) Islam. Kesimpulan di akhir tulisan mencoba merangkum dan mempermudah penjelasan panjang ini.
Menjelaskan vaksin yang belum bersertifikat halal MUI, tetapi tidak ada keterangan tambahan (“Kategori” Pertama).
Untuk memahami apakah suatu vaksin itu halal atau tidak, tentunya harus mengetahui apa saja kandungan vaksin. Tulisan ini tidak akan menjelaskan kandungan detil seluruh vaksin, dan saya sudah menuliskannya lengkap di dalam buku “Pro Kontra Imunisasi”, tetapi saya mencoba memaparkan secara singkat isi vaksin MR. Vaksin ini terdiri dari bahan aktif berupa virus campak (strain Edmonston-Zagreb) dan virus rubella (strain Wistar RA 27/3) yang dilemahkan, dan bahan-bahan tambahan lainnya yang disebut eksipien.
Informasi produk vaksin MR-Vac yang diproduksi Serum Institute of India (SII) menyebutkan vaksin ini berisi eksipien antara lain: gelatin, sorbitol, histidin, alanin, tricine, arginin, dan lactalbumin hydrolysate. Dalam jurnal International Journal of Current Research yang dipublikasi pada bulan Februari tahun 2016, semua eksipien dalam vaksin MR ini berperan sebagai stabilizer, yaitu bahan yang digunakan untuk menjaga stabilitas vaksin selama dalam penyimpanan sampai saatnya digunakan.
Perlu diketahui bahwa sebelum digunakan, vaksin harus disimpan dalam suhu dingin tertentu, yaitu 2 – 8 derajat celsius untuk vaksin kering seperti MR. Stabilisasi penting dalam penyimpanan berbasis suhu cold chain seperti ini. Bahan aktif yang diambil manfaatnya untuk menciptakan kekebalan tubuh terhadap penyakit campak dan rubella adalah virus hidup yang dilemahkan, dan tentunya sama sekali bukan barang haram atau najis. Kemungkinan adanya bahan yang dikhawatirkan haram ini biasanya ada pada eksipien (penjelasannya pada bagian vaksin kategori ketiga di bawah).
Sebagian besar vaksin yang beredar saat ini di Indonesia, dan belum diberi label halal karena belum disertifikasi oleh lembaga pemeriksa halal (LPH), dan tidak masuk ke kategori kedua dan ketiga di bawah, memiliki bahan-bahan aktif yang tentunya tidak sama, dan eksipien yang berbeda-beda juga. Produk-produk vaksin yang beredar di Indonesia sudah memiliki ijin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, dan vaksin-vaksin yang masuk kategori pertama ini tidak diberi keterangan tambahan “pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi” atau “mengandung babi” oleh BPOM RI.
Kalaulah memang dalam proses pembuatan izin edar (pengecekan dokumen-dokumen dan peninjauan proses produksi di lapangan) didapatkan kandungan babi, maka BPOM seharusnya memasukkan sebagian besar vaksin ini ke dalam kategori kedua atau ketiga. Maka masyarakat dapat menyimpulkan bahwa mayoritas vaksin tidak mengandung bahan haram. Bagaimana dengan vaksin MR yang tidak masuk dalam kategori kedua dan ketiga, dalam pelabelan di kemasannya? Apakah vaksin kategori pertama ini haram, karena belum ada sertifikat halal dari MUI? Silakan masyarakat menyimpulkan sendiri.
Bagaimana proses sertifikasi halal vaksin berjalan sejauh ini? Selain vaksin yang disebutkan dalam kategori keempat (tidak dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini), maka Bio Farma selaku BUMN yang memproduksi sebagian besar vaksin untuk kebutuhan lokal dalam negeri, sudah menjalankan tahapan menuju perolehan sertifikat halal MUI melalui LPH. Upaya untuk meregistrasikan produk vaksin mendapatkan sertifikat halal ternyata tidak singkat, harus satu per satu. Vaksin BCG adalah vaksin yang saat ini sedang diajukan untuk memperoleh sertifikat halal. Pihak LPH, dalam hal ini LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika) MUI juga harus meninjau langsung proses produksi vaksin, yang tidak selalu berjalan setiap hari.
Tata cara memperoleh sertifikat halal sudah dijelaskan dalam bab V Undang-Undang Republik Indonesia nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, atau UUJPH. Pelaku usaha memang yang pertama kali harus mengajukan permohonan sertifikat halal. Dengan kata lain, apabila produsen vaksin tidak mengajukan permohonan, maka sertifikat halal tidak akan pernah terbit. Undang-undang JPH sudah disahkan pada 17 Oktober 2014 oleh Presiden RI sebelumnya, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Perangkatnya berupa Badan Penyelenggara JPH (BPJPH) sendiri baru dibentuk tahun 2017 lalu, dan sampai sekarang Peraturan Pemerintah (PP) untuk pelaksanaan UU ini belum disahkan oleh Kementerian Agama, selaku penyelenggara, meskipun dikatakan bahwa rancangannya sudah final. Lembaga pemeriksa halal yang seharusnya bisa terdiri dari berbagai macam lembaga mandiri pun baru satu yang diakui, yaitu LPPOM MUI.
Bagaimana dengan sertifikasi halal vaksin MR yang merupakan produk impor? Produsennya tidak berada di negeri ini, dan UUJPH menyebutkan produsen yang seharusnya mengajukan registrasi sertifikat halal. Di dalam bab VI pasal 47 UUJPH, produk halal luar negeri tidak perlu diajukan permohonan sertifikat halalnya, sepanjang sertifikat ini diterbitkan oleh LPH luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan. Ketentuannya diatur dalam PP yang sampai saat ini belum terbit. Artinya memang menunggu keluarnya sertifikat halal vaksin MR bukanlah hal yang mudah. Harus ada terobosan lain di luar sistem yang berlaku saat ini, untuk melahirkan vaksin MR yang berlabel halal MUI.
Vaksin “kategori” kedua
Bagaimana dengan vaksin kategori kedua yang mencantumkan keterangan tambahan dalam kemasan “pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi”? Apakah vaksin ini haram? Ketentuan pencantuman kalimat ini memang diatur dalam Peraturan Kepala BPOM RI nomor HK.00.05.1.23.3516 tentang produk obat yang bersumber atau mengandung bahan tertentu atau alkohol, tepatnya di Bab II, Pasal 3, ayat (8). Benarkah sebagian kecil vaksin yang sudah disebutkan contohnya di atas memang mengandung bahan bersumber babi, yaitu porcine? Dalam penjelasan vaksin kategori sebelumnya, disinggung bahwa adanya bahan yang dinilai haram terdapat dalam eksipien (akan dijelaskan lebih lanjut di pembahasan vaksin kategori ketiga).
Keberadaan bahan yang diduga haram, yaitu porcine, juga masuk dalam penilaian BPOM RI, sejak dalam proses produksi awal vaksin. Bahan bersumber babi, tepatnya enzim tripsin babi (porcine-derived trypsin) memang digunakan pada beberapa vaksin virus, saat tahap awal proses produksi. Tujuannya untuk memisahkan virus yang sudah diperbanyak sebagai bahan dasar produk vaksin, dari media pembiakannya. Perlu diketahui, secara garis besar ada dua jenis vaksin: virus dan bakteri. Media pembiakan dan proses produksi awalnya pun berbeda. Ditambah lagi, tidak semua vaksin virus menggunakan tripsin babi ini. Ada yang sudah menggunakan teknologi DNA rekombinan, atau menggunakan tripsin bersumber selain babi. Dalam proses produksi selanjutnya, tripsin yang bersifat katalisator ini “dibersihkan”, supaya tidak mengganggu alur berikutnya, dan sampai menghasilkan vaksin yang efektif. Maka di produk akhir, sudah tidak didapatkan lagi tripsin babi. Dengan kata lain, tidak ada kandungan babi dalam produk akhir vaksin yang diberikan ke dalam tubuh manusia.
Apakah ini tetap berarti vaksin kategori kedua haram? Dalam ilmu fikih, dikenal konsep istihlak (استحلاك), yaitu bercampurnya benda haram/najis dengan benda lainnya yang suci dan halal, yang jumlahnya lebih banyak, sehingga menghilangkan sifat najis dan keharaman benda yang sebelumnya. Vaksin-vaksin yang masuk dalam kategori kedua ini mengalami proses serupa, yaitu di produk akhir sudah tidak didapatkan lagi tripsin babi. Maka dengan menggunakan konsep istihlak, vaksin-vaksin ini tidak dinyatakan haram.
Mengapa tidak menggunakan tripsin selain babi (porcine), misalnya tripsin sapi (bovine) atau buatan/rekombinan? Bukankah sudah jelas status halalnya selain dari babi? Salah satu syarat dasar vaksin adalah: efektif, yaitu mempu mencegah penyakit yang dituju. Apabila tidak efektif, maka percuma saja vaksin diproduksi, dan tentunya tidak akan lolos uji klinis (vaksin melalui tiga tahap uji klinis, sampai dinyatakan layak diproduksi massal. Inilah bukti kemanan vaksin).
Untuk menciptakan vaksin yang efikasi dan efektivitasnya tinggi, seluruh komponen berperan, termasuk dalam alur produksi awal. Apabila salah satu bahan yang digunakan tidak menghasilkan vaksin yang baik, maka tentunya tidak dipakai. Maka sampai sini, prinsip al-dlarurat (الضّرورة) yang ditegaskan dalam Fatwa MUI nomor 4 tahun 2016 tetap berlaku. Yaitu ketika belum ada alternatif vaksin lain yang tidak menggunakan tripsin babi, maka penggunaannya diperbolehkan. Tentunya upaya mengembangkan vaksin berbahan seratus persen halal tidak berhenti di sini. Apalagi konsep darurat dalam fikih Islam dibatasi waktu. Tidak berlaku darurat untuk selamanya. Para ilmuwan muslim punya tanggung jawab terhadap pengembangan bioteknologi ini.
Konsep darurat dalam Islam
Dalam kaidah fikih المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ (kesulitan membawa kemudahan), terdapat beberapa “cabang”, seperti الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات (keadaan terpaksa/darurat membolehkan sesuatu yang terlarang), yang bermakna sesuatu yang asalnya terlarang dalam pandangan syari’ah (hukum) Islam, menjadi diperbolehkan dalam keadaan terpaksa. Tetapi sifat keterpaksaan alias darurat ini tentunya tidak berlangsung sepanjang waktu, sesuai kaidah fikih lainnya: الضَّرُوْرَةُ تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا (sebuah keterpaksaan itu diukur sesuai kadarnya masing-masing) dan ما جاز لعذر بطل بزواله (apa yang diperbolehkan karena sebuah sebab, maka tidak diperbolehkan lagi kalau sebabnya sudah hilang).
Vaksin “kategori” ketiga
Jenis vaksin ini adalah yang banyak diperdebatkan, karena jelas dalam kemasannya tertulis “mengandung babi”, sesuai ketentuan dari BPOM RI yang sudah dijelaskan sebelumnya. Apa sebabnya? Vaksin ini menggunakan gelatin babi (porcine-derived gelatine) yang terdapat di produk akhir, dan digunakan sebagai stabilizer. Gelatin adalah bahan yang diperoleh dari jaringan kolagen binatang, misalnya dari bagian tulang keras, tulang rawan, tendon, atau kulit. Di dalam vaksin, gelatin telah mengalami proses hidrolisis (reaksi pemecahan dengan molekul air), dan sebenarnya DNA babi sudah tidak terdeteksi sama sekali. Ini bukti bahwa gelatin di dalam vaksin sudah mengalami transformasi, dan berbeda zatnya dengan babi pada awalnya. Di dalam ilmu fikih, konsep ini dinamakan istihalah (استحالة).
Apakah zat yang mengalami istihalah tetap dinyatakan haram? Apakah konsep istihalah berlaku untuk babi? Dalam pertemuan “The Islamic Organization of Medical Sciences” di Kuwait tahun 1995, lebih dari 100 ulama dari berbagai negara yang hadir menyepakati bahwa gelatin babi hukumnya halal. Argumentasinya adalah konsep istihalah. Ulama internasional yang menghadirinya antara lain Syaikh Dr. Mohammad Sayed Tantawi (mufti Al-Azhar) dan Dr. Yusuf Qaradhawi (Qatar). Tetapi memang ada perbedaan pendapat dalam hal istihalah berlaku untuk zat haram seperti babi. Keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy (Organisasi Konferensi Islam), Al-Majma’ Al-Fiqhy Al-Islamy (Rabithah Al-‘Alam Al-Islamy), dan fatwa Dewan Ulama Besar Kerajaan Saudi Arabia berpendapat bahwa gelatin babi belum mengalami proses istihalah, sehingga hukumnya tetap najis (haram). Dalam hal ini artinya memang ada perbedaan pendapat, dan masing-masing memiliki argumentasinya sendiri.
Fatwa MUI tentang imunisasi memang tidak menyebutkan konsep istihlak dan istihalah dalam rinciannya. Hanya konsep al-dlarurat dan al-hajat yang disebutkan. Maka apabila kembali ke konsep darurat, ketika belum ada alternatif lain, vaksin yang mengandung gelatin babi bisa masuk ke dalamnya.
Bagaimana dengan negara-negara lainnya yang menggunakan vaksin-vaksin serupa di negara ini? Apakah vaksin-vaksin yang belum diakui status halalnya di Indonesia, dianggap tidak halal di negara-negara lain? Sebagai contoh, ada tiga vaksin produk impor yang juga beredar di Indonesia, ketiganya sudah mendapatkan sertifikat halal di luar negeri, tetapi belum mendapatkan sertifikat halal di Indonesia (kembali kepada aturan UUJPH yang sudah dijelaskan). Pertama, vaksin rotavirus bermerek Rotarix (vaksin kategori kedua) yang mendapatkan sertifikat halal dari Halal Food Council of Europe. Kedua, vaksin rotavirus bermerek RotaTeq (vaksin kategori kedua) yang mendapatkan sertifikat halal dari The Islamic Food and Nutrition Council of America (IFANCA). Ketiga, vaksin pneumokokus bermerek Prevenar (vaksin kategori pertama), yang mendapatkan sertifikat halal dari IFANCA juga. Maka, ketika ketiga vaksin ini dinyatakan halal di negara-negara lain, apakah di Indonesia tidak akan dinyatakan halal juga?
Vaksin MR sendiri yang merupakan produk impor sudah digunakan di lebih dari 141 negara di seluruh dunia, termasuk negara-negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Malaysia dan Yaman. Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah lainnya juga menggunakan vaksin-vaksin impor yang sebagiannya sama dengan yang beredar di Indonesia. Perbedaan penentuan status halal vaksin memang dipengaruhi oleh cara pandang mazhab fikih yang digunakan di masing-masing negara.
Kesimpulan
Vaksin MR memang belum mendapatkan sertifikat halal MUI sampai saat ini, dengan alasan-alasan yang sudah dijelaskan di atas. Tetapi apabila menilik kandungan vaksin yang diungkapkan dalam informasi produknya, harus ada pembuktian bahwa vaksin ini memang mengandung bahan haram atau najis, jika ingin dikatakan haram. Sebelum ada pembuktian keharamannya, maka tidak tepat vaksin MR dinyatakan haram. Prinsip ini sesuai dengan kaidah fikih yang berlaku dalam urusan keduniaan/muamalah, yaitu :الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ (hukum asal segala sesuatu adalah boleh/mubah). Setiap hal yang berhubungan dengan urusan duniawi hukum asalnya adalah halal dan boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang menyatakannya haram.
Fatwa MUI nomor 4 tahun 2016 tentang imunisasi sudah memberikan rekomendasi bahwa: pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal bagi seluruh masyarakat, melalui implementasi sertifikasi halal seluruh vaksin. Langkahnya dimulai dari produsen mengajukan sertifikasi halal produk vaksinnya, sesuai alur tata cara memperoleh sertifikat halal, sesuai penjelasan UUJPH nomor 33 tahun 2014. Dalam hal ini, produsen vaksin lokal yang juga merupakan BUMN: Bio Farma sudah memulai langkahnya, dan membutuhkan waktu yang tidak singkat, sesuai penjelasan sebelumnya.
Fatwa MUI tentang imunisasi tidak hanya memberikan rekomendasi terkait sertifikasi halal vaksin, tetapi juga memberikan rekomendasi nomor 1 (pertama), mendahului enam rekomendasi sesudahnya, bahwa: pemerintah wajib menjamin pemeliharaan kesehatan masyarakat, salah satunya melalui pendekatan preventif. Imunisasi adalah upaya preventif. Dan di dua poin rekomendasi terakhir, tertulis pemerintah bersama tokoh agama dan masyarakat wajib melakukan sosialisasi pelaksanaan imunisasi, serta orangtua dan masyarakat wajib berpartisipasi menjaga kesehatan, termasuk dengan memberikan dukungan pelaksanaan imunisasi. Tujuh rekomendasi Fatwa MUI ini harus dipahami dan dilaksanakan secara utuh, dan saling melengkapi.
Program imunisasi yang sudah berjalan rutin di Indonesia sejak tahun 1977 sudah terbukti mengurangi angka penyakit berbahaya dan kematian. Vaksin adalah upaya pencegahan penyakit yang sangat efektif, dan dianggap salah satu terobosan besar di abad kedua puluh. Penyakit cacar “bopeng” (variola/smallpox) punah di tahun 1977 akibat keberhasilan program imunisasi, dan Indonesia sudah dinyatakan bebas polio pada tahun 2014. Upaya perolehan sertifikat halal yang membutuhkan waktu jangan sampai membuat masyarakat ragu akan manfaat vaksin, bahkan sampai menunda pemberiannya, yang dapat berdampak buruk meningkatnya penyakit menular berbahaya, kematian, dan kecacatan.
Kaidah al-dlarurat dan al-hajat yang disebutkan dalam ketentuan umum fatwa MUI nomor 4 tahun 2016, ditambah kaidah istihalah dan istihlak yang sudah dijelaskan di atas, hendaknya membuat masyarakat makin yakin bahwa meskipun sampai saat ini belum ada sertifikat halal untuk sebagian besar vaksin, tetapi vaksin itu sendiri adalah produk yang boleh diberikan, dan dibenarkan dalam fatwa MUI tentang imunisasi. Ketentuan hukum dalam fatwa ini menuliskan bahwa: imunisasi pada dasarnya mubah, sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya penyakit tertentu. Bahkan di poin kelima (dari total enam poin), fatwa menyebutkan: dalam hal jika seseorang tidak diimunisasi akan menyebabkan kematian, penyakit berat, atau kecacatan permanen yang mengancam jiwa, maka imunisasi hukumnya wajib. Vaksin MR yang akan dimulai kampanyenya pada bulan Agustus 2018 ini di luar Pulau Jawa, adalah vaksin yang terbukti efektif mengurangi kematian dan penyakit berat akibat kompilkasi campak, dan mampu mengurangi kecacatan permanen akibat rubella.
Vaksin MR yang saat ini digunakan adalah produk impor dari perusahaan vaksin Serum Institute of India. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mengimpornya lewat BUMN Bio Farma, dan mendistribusikannya lewat Bio Farma juga. Mengingat alur tata cara memperoleh sertifikat halal sesuai UUJPH tahun 2014 yang membutuhkan waktu tidak singkat dalam prosesnya, dan pemberian vaksin MR yang sudah berjalan setahun di Pulau Jawa dan akan meluas sampai ke seluruh Indonesia di tahun ini, maka saya menyarankan Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama yang menaungi BPJPH, dan MUI melakukan koordinasi khusus untuk melahirkan langkah tertentu agar masyarakat semakin yakin untuk mendapatkan imunisasi MR, meskipun sertifikat halal belum diperoleh.
Sertifikat halal tidak mengubah kaidah-kaidah dalam beragama, dan tidak tepat dikatakan sebagai “harga mati” menentukan status halal atau tidaknya vaksin. Meskipun demikian, adanya sertifikat halal vaksin adalah hal yang sangat penting, sesuai rekomendasi dalam Fatwa MUI tentang Imunisasi dan amanah UUJPH. Keberadaan label halal MUI dapat memberikan ketenangan bagi seluruh masyarakat Muslim di Indonesia dalam mendapatkan imunisasi.
Penutup
Memberikan imunisasi kepada seluruh kelompok masyarakat yang rentan adalah upaya yang sesuai dengan kaidah fikih لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ (tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan). Kaidah ini diambil dari hadits Abu Sa’id Sa’d bin Malik bin Sinan al-Khudri Radhyallahu anhu dengan beberapa perawi (orang yang meriwayatkan hadits), dan dalam riwayat al-Hakim dan al-Baihaqi terdapat tambahan matan (isi teks), َمَنْ ضَارَّ ضَرَّهُ اللهُ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْه (“Barangsiapa membahayakan orang lain, maka Allah akan membalas bahaya kepadanya, dan barangsiapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain, maka Allah akan menyulitkannya.”).
Kaidah fikih ini mempunyai beberapa cabang, antara lain: الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ (sesuatu yang membahayakan (mudarat) itu harus dicegah semampunya), lalu kaidah الضَّرَرُ يُزَالُ (sesuatu yang membahayakan harus dihilangkan), kaidah إذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَّرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا (apabila berbenturan dua hal yang membahayakan, maka harus dihilangkan mudarat yang paling besar, meskipun harus mengerjakan mudarat yang lebih kecil), dan kaidah دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ (mencegah bahaya itu lebih utama daripada menarik datangnya kebaikan).
Program imunisasi adalah salah satu ikhtiar manusia dalam menjaga kesehatan dan mencegah penyakit berat, kecacatan, serta kematian, yang sesuai dengan kaidah-kaidah ini. Selain itu, salah satu maqashid syari’ah (tujuan-tujuan dibuatnya syariat Islam) adalah hifzun nafs, yaitu menjaga jiwa. Maka tidaklah lain syariat mulia ini diturunkan untuk mendatangkan kemaslahatan dan menjauhi kerusakan dan bahaya. Wallahu a’lam.
Terima kasih khususnya kepada dr. Muhammad Saifudin Hakim, MSc, yang telah menulis buku “Imunisasi: Lumpuhkan Generasi?” Penulis mendapatkan beberapa bahan tulisan terkait fikih dalam imunisasi dari buku ini.
*) Penulis buku “Pro Kontra Imunisasi” dan “Berteman dengan Demam”